Rabu, 03 Oktober 2012

PERILAKU RUMAHTANGGA DALAM PENGELOLAAN LIMBAH DOMESTIK DI SEPANJANG ALIRAN CI LIWUNG; KASUS DESA-DESA WILAYAH JAKARTA, DEPOK DAN BOGOR


Perilaku Rumahtangga dalam Pengelolaan Limbah Domestik di Sepanjang Aliran Ci liwung; Kasus Desa-desa Wilayah Jakarta, Depok dan Bogor

Rudi Iskandar
Email: rudiiskandar@hotmail.com
(Dosen Geografi FIS UNJ)

ABSTRACT
The aims of the study are to exemine: 1) Rural-urban typology in the region, especially the villages along riversides of the Ci Liwung; and Indicators determining rural-urban typology in the the region; 2) Factors influencing perception, behavior, willingness to pay (WTP) and participation of the people towards  domestic waste managment.
A field survey was conducted in 20 vilages of Ci Liwung riversides with samples taken proportional to configuration of the typology. Collected data was analized by using statistical analysis, like frequency, crossing tables, means, standard deviation, and path analysis. This research set up a model of relationship between perception, behaviour, WTP and participation to improve the condition of  domestic waste managment. The model was especially set up based on the result of the path analysis, the main analysing technique in the research.
The research resumed that: (1) There are 75 villages  crossed by Ci Liwung river from the upper to the down stream most of them (85.2 %) are urban areas which categorised into “first urban”  (13.3 %) and “second urban villages” (72,1 %)], others are “rural-urban transition” (9,3 %) and  “rural villages” (5,3 %). (2) Indicators determining the rural-urban typology in the region are: landuse pattern, population density, proportion of slums areas, distance from urban facilities, percentage of poor households; (3)  Determining indicators are specifics interm of index of housing quality, index of environmental quality and behavioral characteristic of the people (perception, behavior, WTP and participation towards domestic waste managment; (4) Rural-urban typology and village characters are two main factors influencing index of housing quality and index of environmental quality, (5) Perception, behavior, WTP and participation towards domestic waste managment are specifics interm of rural-urban typology, villages charateristics, index of housing quality and index of environmental quality (6) The household behavior towards domestic waste managment has no significant causal relation with their perception, which indcate that a good perception is not always followed by a good behavior either. (7) The participation of domestic waste managment have been consistence to WTP, which means that their high WTP is always followed by high participation
Keywords: Household behavior, willingness to pay (WTP), Domestic waste managment, rural-urban typology, Ci Liwung river.


PENDAHULUAN
Sampah merupakan salah satu penyebab utama terjadinya degradasi lingkungan di wilayah perkotaan (urban) khususnya dan daerah transisi desa-kota serta pedesaan (rural) umumnya. Di DKI Jakarta saja misalnya, pada tahun 1999 dari 29.567 m3/hari, 67,86 % diantaranya berasal sampah rumahtangga; 9,15 % dari pasar-pasar; 4,5 % dari pertokoan-pertokoan, 3,2 % dari perkantoran; 2,29 % dari jalan-jalan dan  8 % dari pabrik-pabrik.
Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya pengelolaan sampah yang ada sejauh ini, dipandang belum secara optimal mempertimbangkan, menggunakan parameter kependudukan dan lingkungan. Kebijakan yang ada umumnya masih belum secara optimal mengkaji keterkaitan dan dinamika antara penduduk dan lingkungan hidupnya, sehingga kebijakan yang diterapkan dalam salah satu sektor menimbulkan dampak negatif bagi sektor lain atau kelompok masyarakat tertentu. Sebaliknya, kebijakan bidang kependudukan, terkait kebijakan lingkungan hidup masih rendah. Secara umum upaya pengelolaan lingkungan., khususnya sampah masih bersifat kuratif (memperbaiki), aspek preventif seperti pencegahan pencemaran, perusakan sumberdaya alam dan lingkungan masih belum memadai.
Karakteristik wilayah yang berbeda (dalam hal ini dilihat pada kemiringan lereng) dan tipologi desa dapat menyebabkan perbedaan perilaku penduduknya, termasuk pada perilaku pengelolaan limbah rumahtangga. Di wilayah hulu misalnya, penduduk sudah terbiasa menggunakan sungai dalam kehidupan sehari-hari seperti kegiatan mandi, cuci dan kakus (MCK), bahkan untuk keperluan minum sekalipun. Karena kondisi air sungai relatif bersih dan belum banyak beban pencemar yang masuk. Sementara disebagian wilayah tengah dan hilir (sungai Ciliwung), keadaan sungai sudah kurang layak digunakan untuk mandi dan cuci,  apalagi untuk keperluan minum. Sementara penduduk yang membuang kotorannya (ekskreta) semakin banyak. Akibatnya fungsi sungai tidak lebih dari sekedar selokan besar tempat membuang kotoran, termasuk sampah.  Dari sini terlihat bahwa perilaku terhadap penggunaan air sungai sudah berbeda saat ini antara daerah hulu, tengah dan hilir. Pada lima puluh tahun yang lalu mungkin perbedaan ini belum begitu banyak, karena keadaan sungai Ciliwung dari hulu hingga hilir masih relatif baik karena jumlah penduduk yang menggunakan masih belum banyak, sementara keadaan hutan masih relatif baik.
Pada saat ini persoalannya menjadi lebih rumit ketika jumlah penduduk dan bangunan yang berada disekitar bantaran sungai telah melampaui kemampuan sungai itu untuk menjaga keseimbangannya. Keadaan sungai sudah menjadi jauh berbeda kualitasnya (seiring dengan makin berkurangnya areal hutan), sehingga saat ini air sungai Ciliwung kurang layak digunakan untuk aktivitas penduduk sehari-hari (di wilayah hilir). Apalagi  pada saat kemarau, keadaan sungai Ciliwung disebagian wilayah tengah dan di wilayah hilir keadaannya sudah sangat memprihatinkan. Perbedaan kondisi aktual karakteristik wilayah DAS Ciliwung antara hulu, tengah dan hilir ini berakibat pada perbedaan perilaku masyarakatnya, terutama dalam penggunaan sungai untuk kehidupan sehari-hari.

 

Tabel 1. Jumlah Desa, KK dan Unit Bangunan  pada Desa-Desa

yang dilalui Sungai Di Jabotabek Tahun 2000


WILAYAH JABOTABEK
Jumlah Desa
Jumlah Rumahtangga
Jml Unit Bangunan
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)

DKI
Jakarta
Jak-Sel
18
11
2.526
1543
1.278
781
Jak-Tim
18
12
2.773
1.752
2.241
1494
Jak-Pus
5
5
60
60
211
211
Jak-Bar
5
0
377
0
337
0
Jak-Ut
12
2
4.535
752
2.486
414
Jumlah
58
30
10.271
4.107
6.553
2.900


JABAR
Kab.Bogor
64
20
6.755
2.110
6.429
2.009
Kot.Bogor
26
15
2.337
1.348
1.741
1.004
Kab.Bekasi
51
0
5.122
0
5.088
0
Kot. Bekasi
7
0
317
0
284
0
Kot.Depok
20
9
4.670
2.089
4.552
2.045
Jumlah
168
44
19.221
5.547
18.094
5.058

BANTEN
Kab.Tange
45
0
1.394
0
1.242
0
Kot.Tange
17
0
1.186
0
1.331
0

Jumlah
62
0
2.580
0
2.573
0
Keterangan:
(1)     Jumlah Desa yang dilalui sungai
(2)     Jumlah Desa yang dilalui sungai Ciliwung

Besarnya jumlah penduduk (1,8 juta jiwa),  padatnya bangunan (6.543 unit bangunan dan 232 lokasi pemukiman kumuh dengan luas 550,6 Ha), tingginya kepadatan per-unit bangunan rumah (5,5 jiwa per-unit bangunan rumah) di sepanjang bantaran sungai, terutama untuk wilayah DKI Jakarta, ternyata selain menimbulkan persoalan lingkungan yang sangat berat juga  pada kesejahteraan penduduk di dalamnya. Keadaan ini sebenarnya menimbulkan apa yang disebut dengan lingkaran setan kemiskinan (vicious cyrcle poverty). Pada lokasi-lokasi ini paling banyak ditemukan golonngan miskin. Persoalan ini sudah tentu membawa implikasi pada kegiatan lain seperti kebersihan dan kenyamanan lingkungan.
Menurut Direktorat Analisa Sistem BPPT (1992) setiap orang di Indonesia mengeluarkan 0,6 kilogram (Kg) sampah rumahtangga dengan volume 3 liter. Atas dasar asumsi tersebut maka pada tahun 2000 akan ada 21.592 Kg sampah per-hari, ada 647,757 ton per-bulan dan ada 7,8 juta ton per-tahun; pada daerah yang bersentuhan langsung dengan sungai-sungai yang ada di jabotabek. Belum lagi sampah yang dihasilkan oleh perkantoran, industri kecil dan pabrik di sepanjang bantaran sungai itu. Oleh karena begitu rumitnya masalah sampah ini, jika tidak secara tepat ditanggulangi, maka akan menimbulkan masalah pencemaran sungai yang lebih hebat dari saat ini yang memang sudah rusak, dan akhirnya lingkungan secara keseluruhan akan menjadi rusak pula. Rusaknya lingkungan dapat menyebabkan menurunnnya  kualitas lingkungan hidup, sedangkan kualitas lingkungan dapat mempengaruhi kesejahteraan hidup manusia.
Berkaitan dengan persoalan sampah disepanjang bantaran sungai Ciliwung, maka perilaku penduduk dan fasilitas pembuangan sampah merupakan faktor yang turut menentukan pencemaran  air sungai. Persoalan perilaku penduduk dalam membuang sampah ini sangat erat kaitannya dengan persepsi dan sikapnya terhadap lingkungan sekitar khususnya tentang sampah dan manfaat sungai bagi mereka. Melihat karakteristik daerah antara hulu, tengah dan hilir sungai berbeda secara fisik, diduga turut mempengaruhi pula perilakunya terhadap pengelolaan limbah rumhatangga.
Seperti yang terdapat pada Tabel 1, daerah bantaran sungai merupakan  daerah padat penduduk dan banyak terdapat kantong-kantong kemiskinan, yang jelas merupakan daerah yang memiliki status sosial ekonomi menengah ke bawah. Seperti halnya yang terjadi di tempat lain, salah satu yang penting dalam mengatasi persoalan kemiskinan adalah menggerakkan partisipasi mereka dalam pembangunan lingkungan hidup. Antara kebutuhan mereka dalam mempertahankan hidup, dengan masalah kebutuhan untuk mempertahankan kondisi lingkungan yang berkelanjutan (sustainable), banyak menghadapi kendala. Contoh yang dekat dengan hal itu adalah begitu padatnya penduduk yang tinggal dibantaran sungai sehingga menyebabkan sungai menjadi kotor dan tidak nyaman. Fungsi sungai disini tidak lebih sebagai tempat pembuangan sampah atau semacam selokan dimana mengalir berbagai macam sisa buangan (limbah). Agar sungai menjadi bersih dan nyaman, maka salah satu caranya adalah meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pengelolaan sampah rumahtangga, khususnya di wilayah desa-desa bantaran sungai yang mana daerah yang terlibat langsung dengan keberadaan sungai. Selain kontribusinya terbesar dalam menghasilkan volume sampah, pengelolaan sampah rumahtangga relatif lebih rumit dibandingkan limbah pabrik dan perkantoran, karena melibatkan berbagai komponen masyarakat yang kompleks dan besar, terutama pada aspek pemantauan dan tingkat pemahaman terhadap lingkungan.
METODOLOGI PENELITIAN
Untuk mendapatkan indeks yang dapat menjelaskan tipologi desa di Jabotabek, digunakan data Potensi Desa (Podes) tahun 2000 dari Badan Pusat Statistik (BPS). Dari 130 variabel, yang terdiri dari 96 variabel yang dipilih dari data Podes ‘2000 dan 34 variabel yang dikembangkan dari data podes ‘2000, diperoleh 23 variabel yang relevan untuk dianalisis dalam kaitannya dengan penentuan tipologi Desa di Jabotabek. analisis dengan menggunakan teknik factor analysis (FA) atau Principle Componenet Analysis (PCA)
PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis dengan menggunakan teknik factor analysis (FA) atau Principle Componenet Analysis (PCA) terhadap 1488 desa di Jabotabek, maka berhasil menetapkan 9 faktor utama (factor loading) yang signifikan untuk menjelaskan tipologi wilayah desa. Kesembilan factor loading tersebut adalah:
Faktor 1, meliputi: semakin tinggi persentase keluarga pra-sejahtera dan sejahtera 1, maka semakin tinggi pula persentase luas sawah berpengairan yang diusahakan. Tetapi, luas perumahan dan permukiman akan semakin berkurang. Selanjutnya faktor 1 ini disebut sebagai indeks sawah dan permukiman.
Faktor 2, meliputi: semakin rendah persentase luas lahan perkebunan, maka jumlah sekolah menengah  atau sederajat juga semakin rendah. Selanjutnya faktor 2 ini disebut sebagai indeks pendidikan.
Faktor 3, meliputi: semakin rendah jumlah rumahtangga yang menerima surat miskin, maka semakin rendah pula persentase rumahtangga yang menerima surat miskin. Selanjutnya disebut indeks kemiskinan.
Faktor 4, meliputi: semakin rendah kepadatan penduduk total desa, maka semakin rendah pula persentase luas permukiman kumuh. Selanjutnya disebut indeks kepadatan & kekumuhan.
Faktor 5, meliputi: semakin jauh jarak desa terhadap rumah bilyar, maka semakin jauh pula jarak terhadappub/diskotik/karaoke. Selanjutnya disebut indeks kedekatan dengan fasilitas hiburan.
Faktor 6, meliputi: ukuran rumahtangga (jiwa/rumahtangga). Selanjutnya disebut indeks ukuran keluarga.
Faktor 7, meliputi: persentase luas  ladang/huma/tegal/kebun/kolam tambak/empang/ penggembalaan/ ladang rumput. Selanjutnya disebut indeks pertanian selain sawah & perkebunan.
Faktor 8, meliputi: kepadatan orang per-bangunan rumah (jiwa/bangunan rumah). Selanjutnya disebut indeks kepadatan rumahtangga.
Faktor 9, meliputi: jumlah unit industri per-desa. Selanjutnya disebut indeks industri.
Selanjutnya, melalui faktor skor (FS) ditentukan pengelompokan (grouping) desa-desa yang ada di Jabotabek dengan teknik cluster. Dari 1488 desa-desa yang ada di Jabotabek, dikelompokkan menjadi 4 tipe desa, yaitu tipe urban 1, tipe urban 2, transisi rural-urban (desa-kota) dan tipe rural. Dibedakannya tipe urban 1 dan tipe urban 2 lebih didasarkan pada fakta bahwa kondisi fisik perkotaan (urban) di Jakarta dan luar Jakarta begitu ekstrim perbedaannya, sehingga perlu dibedakan secara gradual, agar terlihat pergeserannya. Berdasarkan hasil analisis dengan teknik factor analysis (lampiran 3) & discriminant (lihat lampiran 4) terhadap 1488 desa yang ada di Jakarta, Bogor (meliputi Kabupaten Bogor, Kota Bogor dan Kota Depok), Tangerang, dan Bekasi; maka diperoleh hasil indikator penentu yang disajikan pada Tabel 2. berikut.

Tabel 2. Indikator Penentu Tipologi Desa Jabotabek Tahun 2002
INDIKATOR
TIPOLOGI DESA
Urban 1
Urban 2
Transisi R-U
Rural
1. Penggunaan Lahan
Dominan Lahan terbangun
Dominan Lahan terbangun
Lahan terbangun
& pertanian seimbang
Dominan pertanian sawah
2. Kepadatan Penduduk
Tinggi
Sedang
Sedang
Sedang
3. Areal Permukiman Kumuh
Luas
Sedang
Sedang
Sedang
4. Jarak ke Fasilitas Hiburan
Sedang
Jauh
Dekat
Sedang
5. Persentase pra-KS & KS I
Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi

Setelah dilakukan klasifikasi rural-uban di Jabotabek, maka dilakukan penidentifikasian desa-desa yang dilalui oleh sungai utama (outlet) Ciliwung. Pengidentifikasian dilakukan melalui peta rupa bumi lembar Cisarua di selatan (hulu sungai Ciliwung) hingga  peta rupa bumi lembar tanjukpriok di utara (muara sungai Ciliwung). Hasil pengindentifikasian diperoleh 75 desa yang dilalui (sisi kanan dan sisi kiri sungai Ciliwung). Dari 75 desa yang telah diidentifikasi, maka dilakukan tampalan (overlay) secara digitasi dengan klasifikasi rural-urban yang telah dibuat sebelumnya. Hasilnya disajikan dalam Tabel 3. Berikut.


Tabel 3. Desa-Desa yang Dilalui Aliran sungai Ciliwung Di Jakarta-Depok-Bogor

W I L A Y A H
U R B A N                                     R U R  A L

TOTAL
Tipe 1
(Urban-1)
Tipe 2
(Urban-2)
Tipe 3
(Transisi)
Tipe 4
(Rural)
1.Kabupaten Bogor
0
11
7
2
20
2. Kota Bogor
1
13
0
2
16
3. Kota Depok
0
9
0
0
9
4. Jakarta Timur
5
7
0
0
12
5. Jakarta Selatan
3
8
0
0
11
6. Jakarta Pusat
1
4
0
0
5
7. Jakarta Utara
0
2
0
0
2
T O T A L
10
54
7
4
75


Berdasarkan Tabel 3. diketahui bahwa dari hulu hingga hilir sungai Ciliwung, 85,2 % desa-desanya adalah bertipologi urban (teridir dari 13,3 % tipe urban 1 dan 72 % tipe Urban 2) dan 9,3 % bertipologi rural-urban dan sisanya 5,3 %  adalah bertipologi rural. Melihat hasil analisis tersebut maka secara nyata dapat diketahui bahwa telah terjadi proses urbanisasi, dimana sebagian besar adalah tipe desa-desanya sudah bersifat urban, hanya sebagian kecil yang bersifat transisi rural-urban dan rural.
Berdasarkan hasil analisis model estimasi jalur antar peubah yang mempengaruhi persepsi, perilaku, kesediaan membayar dan partisipasi tentang pengelolaan limbah domestik ditingkat lokal yang meliputi  wilayah urban 1, urban 2, transisi rural-urban dan rural, maka diperoleh temuan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi, perilaku, kesediaan membayar dan partisipasi dalam pengelolaan limbah domestik/rumahtangga.


Tabel 4. Hubungan antar-peubah Penelitian Menurut Tipologi Desa Di Jadebo 2002
Aspek
Urban 1
Urban 2
Transisi
Rural
Agregat
p
b
w
a
p
B
w
a
p
b
w
a
p
b
w
a
p
b
w
A
  1. Indeks Rumah
0
+
0
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
  2. Indeks Kebutuhan  tempat tinggal
0
+
0
+
0
0
0
0
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
  3. Pendapatan
0
+
0
+
+
+
+
+
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
  4. Ukuran keluarga
0
+
+
+
0
0
0
0
0
0
0
-
0
0
0
0
0
0
0
0
  5. Pekerja Angkutan
+
+
+
+
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
  6. Pengangguran
+
+
+
-
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
  7. Pendidikan
0
0
0
0
+
+
0
-
+
+
+
+
0
0
0
0
0
0
0
0
  8. Usia
0
0
0
0
0
0
0
0
0
+
+
+
0
0
0
0
0
0
0
0
  9. Tipologi Wilayah transisi/
      daerah tengah Ciliwung
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
+
+
+
+
10. Persepsi ttg limbah domestik
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
+
0
0
0
0
0
0
11. Perilaku kelola limbah domestik
0
0
+
0
0
0
+
0
0
0
+
0
0
0
+
0
0
0
+
0
12. Kesediaan Membayar
0
0
0
+
0
0
0
+
0
0
0
+
0
0
0
+
0
0
0
+
13. Nilai (Rp) Partisipasi
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Keterangan:
0         = tidak nyata/tidak ada kaitan
+      = nyata (+)
-          = nyata (-)
p         = Persepsi
b      = Perilaku
w      = Kesediaan membayar
a      = Partisipasi


Berdasarkan Tabel 4. Diketahui bahwa kemampuan ekonomi rumahtangga muncul sebagai faktor yang signifikan di semua tipologi (baik total agregat mapun lokal). Perbedaannya, diwilayah urban 1 kemampuan ekonomi rumahtangga berpengaruh positif kepada perilaku dan partisipasi pengelolaan limbah domestik.  Sedangkan di wilayah urban 2, transisi rural-urban dan rural kemampuan ekonomi berpengaruh positif kepada persepsi, perilaku, kesediaan membayar dan partisipasi. Kombinasi kemampuan ekonomi rumahtangga tersebut juga cukup bervariasi diberbagai tipologi, misalnya di wilayah urban 1 dan urban 2  kombinasinya adalah indeks rumah, indeks kebutuhan tempat tinggal di bantaran sungai Ciliwung dan pendapatan total keluarga. Di wilayah transisi rural-urban meliputi indeks rumah, indeks kebutuhan tempat tinggal di bantaran sungai Cilwung dan pendidikan. Di wilayah rural dan ditingkat total agregat meliputi  indeks rumah dan indeks kebutuhan tempat tinggal di bantaran sungai Ciliwung. Tetapi ditingkat total agregat desa-desa disepanjang aliran sungai Ciliwung, dimana indeks rumah dan indeks kebutuhan tempat tinggal di bantaran sungai Ciliwung (kemampuan ekonomi rumahtangga) berpengaruh positif terhadap persepsi, perilaku dan kesediaan membayar; kecuali berpengaruh negatif terhadap partisipasi. Fenomena yang terakhir ini (total agregat) menunjukkan bahwa partisipasi rumahtangga dalam pengelolaan sampah lingkungan dapat tidak produktif jika tidak disertai dengan hasil nyata dilapangan yang mereka alami sehari-hari. Temuan yang terakhir ini menunjukkan bahwa ada persoalan dalam pengelolaan sampah lingkungan, khususnya persoalan kelembagaan dalam menggerakkan partisipasi masyarakat untuk membantu pemerintah dalam mengatasi persoalan sampah domestik. Dugaan adanya masalah kelembagaan dalam pengelolaan sampah ini, didasarkan pada kecenderungan masyarakat pada tingkat rumahtangga yang justru mampu secara ekonomi, tetapi menolak (mengurangi) untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah domestik (teruatama di wilayah urban 1, urban 2 & rural). Hal ini diduga tidak adanya atau tidak berfungsinya lembaga pengelolaan sampah, sehingga secara fakta dilapangan terjadi penumpukan sampah dimana-mana secara tidak teratur, seperti di di dalam sungai, di pinggiran sungai, dipinggir jalan, saluran pembuang air dan lain-lain. Fungsi kelembagaan sebagai operative institution (melalui perangkat aturan untuk mengelola aktivitas masyarakat, khsusnya dalam pengelolaan sampah) dan regulative institution (sistem pengwasan dan kontrol terhadap perilaku masyarakat) tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga orang tidak merasa terikat oleh peraturan tertentu oleh lembaga tertentu, akibatnya perilaku orang dalam membuang sampah tidak dapat dikontrol. Akibatnya yang kita lihat adalah menumpuknya sampah disembarang tempat seperti di dalam badan sungai dan dipinggir sungai. Dampaknya sudah tentu akan dirasakan disepanjang aliran sungai (Ciliwung), dan yang paling merasakan adalah penduduk di bagian hilir sungai (DKI Jakarta). Inilah juga salah satu penyebab mengapa rendahnya orang bersedia membayar biaya pengelolaan limbah domestik (sampah rumahtangga) di bagian hilir, karena banyaknya sampah yang menumpuk dilingkungan mereka bukan berasal dari tempat lain seperti dari hulu dan tengah aliran sungai Ciliwung yang dibawa oleh aliran sungai, karena sampah-sampah itu dibuang di dalam badan sungai atau di pinggir sungai. Hal ini terbukti dengan rendahnya kesediaan membayar biaya pengelolaan sampah domestik, dimana hampir 30 persen rumahtangga dari 449 yang dijadikan responden tidak bersedia membayar. Diantara yang bersedia 55 % diantaranya hanya bersedia Rp 1000 – Rp 2999 perbulan dan tidak sampai 4 % yang bersedia di atas Rp 5000/bulan. Walaupun begitu nilai kesediaan membayar biaya pengelolaan sampah yang ditemukan di wilayah penelitian ini sedikit lebih baik dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryadi dkk (1999) di Jakarta, dimana hnaya 45,7 % yang mebayar antara Rp 500 – Rp 3000 perbulannya. Sementara itu, menurut peraturan daerah (Perda) Kabupaten Bogor No. 19 tahun 1998 tentang restribusi pelayanan persampahan/ kebersihan, menentukan struktur dan besarnya tarif untuk pengambilan, pengangkutan dan pemusnahan sampah rumahtangga ditetapkan berdasarkan luas bangunan.          

Tabel 5. Struktur dan Besarnya Tarif Angkutan Pengelolaan Sampah
di Kabupaten Bogor menurut Perda No. 19 Tahun 1998
Permukiman umum
(luas bangunan)
Biaya
(Rp)/bln
Real Estat
(luas bangunan)
Biaya
(Rp)/bln
1. 21 m2
2. >21 m2 - 70 m2
3. 71 m2 - 200 m2
4. 201 m2 – 300 m2
5. > 300 m2
750
2000
3000
4000
6000
1. -
2. >21 m2 – 70 m2
3. 71 m2 – 200 m2
4. 201 m2 – 300 m2
5. > 300 m2

4000
6000
7000
8000

Berdasarkan kenyataan di lapangan, bahwa besarnya tarif angkutan pengelolaan sampah sulit diterapkan, terutama di permukiman umum, dimana tidak ditetapkan oleh luas bangunan, tetapi lebih pada kesepakatan iuran yang ditetapkan oleh masyarakat. Karena besarnya variasi luas bangunan permukiman umum, nampaknya yang lebih cocok dan mudah dalam menentukan besarnya tarif adalah berdasarkan ukuran keluarga atau banyaknya anggota keluarga yang menempati suatu bangunan rumah. Disamping datanya mudah tersedia sampai tingkat Rukun Tetangga (RT), ketentuan ini juga dapat mengandung unsur pendidikan Keluarga Berancana (KB), dimana semakin banyak anggota keluarga, maka biaya pengelolaan sampah akan semakin besar. Untuk diperumahan teratur (real estat), stuktur tarif ini juga perlu mempertimbangkan ukuran keluarga di samping luas dan kualitas rumah, dengan harapan adanya subsidi silang dalam pengelolaan limbah domestik ditingkat masyarakat.
Di luar regulasi tarif pengelolaan sampah rumahtangga yang sudah ditetapkan di atas, sejauh ini yang ditemui oleh peneliti dan selalu menjadi pertanyaan di masyarakat adalah sejauh mana manfaat iuran sampah itu bagi pengelolaan kebersihan di masyarakat, mengingat kenyataan yang terjadi di masyarakat sehari-hari pengelolaan sampah tidak banyak perubahan atau bahkan semakin memburuk. Jadi, masalah kelembagaan pengelolaan sampah di masyarakat yang utama adalah tidak sesuainya aturan yang berlaku dengan perubahan perbaikan pengelolaan sampah di masyarakat. Nampaknya, penyebab utamanya adalah masalah sampah ini belum menjadi prioritas penting baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Persamaan lainnya adalah faktor internal signifikan dalam mempengaruhi persepsi, perilaku, kesediaan membayar dan partisipasi; kecuali di wilayah rural tidak signifikan dalam mempengaruhi. Tetapi masing-masing tipologi berbeda peubahnya, misalnya di wilayah urban 1 jenis pekerjaan dan ukuran keluarga, di wilayah urban adalah pendidikan, di wilayah transisi rural-urban adalah usia. Adanya persamaan dan perbedaan dalam mempengaruhi persepsi, perilaku, kesediaan membayar dan partisipasi dalam pengelolaan limbah domestik menunjukkan bahwa tipologi wilayah cukup menentukan dalam mempengaruhi persepsi, perilaku, kesediaan membayar dan partisipasi seperti yang ditunjukkan pada model agregat desa-desa disepanjang aliran sungai Ciliwung (gambar 15). Kecuali di wilayah rural, pada semua tipologi desa (secara lokal) dan ditingkat total agregat  desa-desa disepanjang bantaran sungai Ciliwung, persepsi tentang limbah domestik tidak signifikan dalam mempengaruhi perilaku tentang pengelolaan limbah domestik.
Tidak signifikannya persepsi dalam mempengaruhi perilaku, diduga ada masalah dalam pembentukan persepsi, baik pada institusi pendidikan, institusi lain yang berkaitan dengan pelaksanaan program penyuluhan tentang lingkungan maupun realitas kondisi lingkungan yang ada. Pada institusi pendidikan, seperti yang diuraikan sebelumnya, bahwa tidak relevannya kurikulum pendidikan formal dengan kebutuhan lokal khususnya yang berkaitan dengan pengenalan lingkungan. Pada institusi Pemerintah Daerah (Pemda), diduga minim dalam melaksanakan penyuluhan tentang lingkungan, khususnya tentang limbah rumahtangga.  Kalaupun ada, pelaksanaannya cenderung bersifat formalistik dan kurang menyentuh kepentingan langsung masyarakat. Kebiasaan yang sering terjadi adalah “asal ada kegiatan pelaksanaan program kegiatan”, sementara sejauhmana ketercapaian program itu adalah masih belum menjadi sasaran utama. Akibatnya, yang diutamakan adalah budaya laporan kegiatan yang tidak sesuai dengan kenyataan, karena evaluasi terhadap suatu program kurang mendapat perhatian.
Persepsi tentang limbah rumahtangga (sebagai pernyataan verbal) dtingkat total agrgat, urban 1, urban 2 dan transisi rural-urban; tidak berpengaruh secara signifikan kepada perilaku tentang pengelolaan limbah rumahtangga/domestik. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku tentang pengelolaan limbah rumahtangga tidak konsisten dengan persepsinya. Kurang sesuainya perilaku masyarakat tentang pengelolaan limbah dengan persepsi (sebagai pernyataan verbal),  karena perilaku sebagai suatu tindakan (action) nyata lebih dipengaruhi oleh kenyataan praktis yang terjadi dilingkungannya, disamping faktor internal yang pragmatis seperti pendapatan. Dengan adanya temuan terakhir ini, maka lebih memperjelas temuan dalam melihat mengapa  perilaku tentang limbah rumahtangga tidak konsisten dengan persepsinya. Hal ini dibuktikan bahwa pada tipologi rural, pengaruh persepsi signifikan dalam mempengaruhi perilaku. Temuan ini menunjukkan bahwa persepsi sebagai penyataan verbal dapat terbentuk oleh kondisi lingkungan yang masih baik, seperti kondisi lingkungan di pedesaan. Temuan terakhir ini menunjukkan bahwa selain terdapat persoalan instiusi dalam pembentukan persepsi khususnya persepsi tentang limbah domestik, disebagian besar desa-desa sepanjang aliran sungai Ciliwung, juga disebabkan oleh rusaknya lingkungan. Oleh karena menurunnya secara drastis kualitas lingkungan ini menyebabkan tidak munculnya kearifan lokal (local genius) di masyarakat karena semua telah mengalami proses urbanisasi. Untuk memperbaiki persepsi, perilaku, kesediaan membayar dan partisipasi pengelolaan limbah domestik; sangat penting untuk membangkitkan kembali kearifan lokal dengan membangkitkan lagi unsur-unsur budaya lokal seperti gotong-royong dimasyarakat. Selain itu, untuk mengubah perilaku tentang pengelolaan limbah rumahtangga maka perlu dilakukan perubahan nyata kondisi lingkungan di sepanjang bantaran sungai Ciliwung. Hal ini dapat dilakukan melalui penertiban dan penataan kondisi lingkungan perumahan. Disamping itu dilakukan alih pengetahuan (transformasi) yang tidak terlalu teoritis seperti melalui diskusi pemecahan masalah bersama, penyuluhan-penyuluhan  dengan menggunakan teknik problem solving atau pemecahan masalah, dan penggunaan agenda aksi yang disusun oleh masyarakat itu sendiri dalam mengatasi masalah sampah. Secara pragmatis adalah dengan meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja, pembangunan perumahan yang layak, memberikan sanksi bagi para pelanggar pembuangan sampah dan memberikan penghargaan bagi yang berperilaku baik dalam pengelolaan limbah rumahtangga. Selain itu juga, berdasarkan temuan lapangan (survai) juga diketahui bahwa tidak tersedianya fasilitas penampungan sampah sementara sebagai pilihan anggota masyarakat dalam membuang sampah menyebabkan sebagian masyarakat yang tidak memiliki penampung sampah sementara di rumah (karena tidak ada pekarangan) cenderung membuang sampah di pinggiran sungai.
Kesimpulan
Indikator penentu tipologi desa di Jabodetabek (berdasarkan data potensi desa 2000) sekurang-kurangnya ada 5 aspek: (1). Penggunaan lahan, (2) Kepadatan penduduk total, (3) Luas areal permukiman kumuh, (4) Jarak ke fasilitas hiburan, (5) Persentase rumahtangga miskin (pra-sejahtera & sejahtera I). Berdasarkan indikator di atas, maka tipologi desa di Jabodetabek dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu: Tipologi Urban 1, Urban 2, Transisi rural-urban dan Rural Terdapat 75 desa di sepanjang aliran sungai Ciliwung dengan rincian sebagai berikut: 13,3 % adalah desa tipe urban  satu, 72 % adalah desa tipe urban dua, 9,3 % desa tipe transisi rural-urban, 5,3 % tipe rural. Dengan melihat hasil tersebut maka desa-desa di sepanjang aliran sungai Ciliwung telah mengalami proses urbanisasi.. Dibandingkan dengan tipologi desa lainnya, secara total agregat (gabungan seluruh tipologi), di wilayah transisi rural urban yang terletak di bagian tengah aliran sungai Ciliwung; kondisi persepsi, perilaku, kesediaan membayar dan partisipasi responden dalam pengelolaan limbah domestik khususnya sampah rumahtangga lebih baik dibandingkan dengan wilayah urban 1, urban 2 dan rural.
Persepsi tentang limbah domestik secara siginifikan ditentukan oleh:  faktor indeks dan kebutuhan tempat tinggal atau kemampuan ekonomi rumahtangga signifikan dalam menentukan persepsi tentang  limbah domestik (kecuali Tipologi urban 1). Pada wilayah yang kondisi lingkungannya relatif lebih baik dan rumahtangga yang memiliki kemampuan ekonomi baik cenderung memiliki persepsi yang baik tentang limbah domestik.
Perilaku pengelolaan limbah domestik secara signifikan ditentukan oleh: pada semua tipologi (kecuali di wilayah rural), perilaku pengelolaan tidak signifikan terhadap persepsinya. Tidak signifikannya persepsi dalam mempengaruhi perilaku pada semua tingkat (level) dan tipologi (kecuali tipologi rural), menunjukkan adanya masalah kelembagaan pengelolaan limbah domestik. Hal ini terjadi diantaranya adalah karena masalah sampah belum menjadi prioritas penting baik pemerintah maupun masyarakat di wilayah penelitian. Tidak signifikannya pengaruh persepsi kepada perilaku di semua tingkat dan tipologi (kecuali tipologi rural) sekurang-kurangnya disebabkan dua hal: (1) masalah tidak ada atau belum efektifnya kelembagaan pengelolaan sampah yang ada selama ini, (2) kondisi lingkungan sebagian besar sepanjang aliran sungai Ciliwung sudah relatif memburuk karena proses urbanisasi.
Kesediaan membayar biaya pengelolaan limbah rumahtangga/domestik secara signifikan ditentukan oleh: pada semua tipologi, faktor perilaku pengelolaan limbah domestik, indeks rumah dan kebutuhan tempat tinggal atau kemampuan ekonomi signifikan dalam menentukan kesediaan membayar biaya pengelolaan limbah domestik. Tetapi perilaku pengelolaan secara keseluruhan (total agregat atau gabungan seluruh tipologi)  berada pada kondisi yang jelek, sehingga kesediaan membayarnya juga relatif rendah.
Partisipasi (gotong royong) penduduk dalam pengelolaan limbah/sampah rumahatangga/domestik secara signfikan ditentukan oleh: pada semua tipologi (kecuali di wilayah transisi rural-urban yang tidak signifikan), faktor internal (seperti pendidikan, usia, pekerjaan) memberikan pengaruh yang negatif kepada partisipasi. Sedangkan kemampuan ekonomi rumahtangga dan kesediaan membayar memberikan pengaruh positif. Baik pada tingkat total agregat maupun lokal (semua tipologi desa), kesediaan membayar lebih dominan dalam mempengaruhi partisipasi dalam pengelolaan sampah lingkungan, walaupun dalam nilai yang relatif rendah. Kemampuan ekonomi rumahtangga (indeks kepemilikan rumah, indeks kebutuhan tempat tinggal dan pendapatan) berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi, perilaku, kesediaan membayar dan partisipasi pengelolaan limbah domestik disemua tingkat/level dan tipologi.

DAFTAR PUSTAKA

Abler, Ronald; J.S. Adams; Peter Gould. 1977. Spatial Organisation: the              geographers view of the world. London: Prentice Hall.
Asher, Herbert B. 1976. CAUSAL MODELING. London: SAGE  Publication.Inc.
Baldares, J. Manuel & Jan G. Laarman. 1990. User Fees at Protected Areas in Costa Rica. Dalam Vincent, R. Jeffrey; Eric W Crowford &  John P Hoehn. 1990. Valuing Environmental Benefits in Developing Economics. Proceedings of Seminar Series at Michigan State University.
BAPPEDA Kabupaten Bogor. 2002. Kebijakan Kabupaten Bogor dalam Penanganan DAS Ciliwung.
Behera, M; Mitra, A.K; Sahoo, B (ed). 1994. Planning for Integrated Area Development in a Backward Block of Orissa. New Delhi: M.D Publications Pvt Ltd.
Caldwell, W.J. Consideration of the Environment: an Approach for Rural Planning and Development. Journal of Soil and Water Consevation. Ontario: Huron County Departement of Planning and Development.
Dieren, Wouter Van. 1995. Taking Nature Into Club A Report to the Club of Rome.            New York: Copernicus
Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Bogor. 2001. Program Kerja Daerah 2005 Kabupaten Bogor.
Djaja, I Made. 1986. Pengelolaan Sampah Padat. dalam  “Kesehatan Lingkungan”. Jakarta: Depdikbud dan FKM UI.
Dowell, David E and Giles Clark. 1996. A Framework For Reforming Urban Land Policies in Developing Countries.  Urban Management Programme Series. Washington: IBRD and World Bank.
Folmer, henk; H. Landis Gabel & Hans Opschoor (Editor). 1995. Principles of Environmental and Resource Economics. A Guide for Students and Decision Makers.
Harvey, Milton E and Brian P. Holly. 1991. Themes in Geographic Thought. London: Croom Helm.
Haryadi & B. Setiawan. 1995. Arsitektur Lingkungan dan perilaku, Suatu Pengantar Teori, Metodologi dan Aplikasi. Universitas Gadjah Mada dan Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan, Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hurst, ME, Eliot. 1972. A Geography of Economic Behaviour. Belmont California: Duxbury Press.
Isard, W. 1956. Location and Economy: a general theory relating to industrial location, market areas, landuse, trade and urban structure. Massachuset: MIT       press.
Janelle, D.G. 1994. Spatial Organisation: A Model and Concept dalam Michael E.             Eliot Hurst (ed). Transportation Geography: Comments and Readings. New York: McGraw Hill.
Koestoer, Raldi Hendro. 1997. Perspektif Lingkungan Desa-Kota: Teori dan Kasus. Jakarta: UI Press.
Kusnoputranto, Haryoto. 1997. Air Limbah dan Ekskreta Manusia, Aspek Kesehatan Masyarakat dan Pengelolaannya. Dirjen Dikti Depdikbud.
_______________ . 1986. Air Buangan dan Kesehatan, dalam “Kesehatan Lingkungan”. Jakarta: Depdikbud dan FKM UI.
_______________ . 1986. Tinja dan Kesehatan dalam  “Kesehatan Lingkungan”. Jakarta: Depdikbud dan FKM UI.
Mantra, Ida Bagoes dan Kasto. 1989. Penentuan Sampel (dalam ‘Metode Penelitian Survay’ oleh Masri Singarimbun dan Sofian Effendi) 149-174. Yogyakarta: LP3ES.
Moore, T.G. 1994. Rural Planning Progrss in a Persistent Problem Area: The Central Apphalachian Example.  Charlotte: Departement of Geography and Earth Sciences University os Carolina.
Mosseley, M.J. 1979. Accecibility: the rural Challenge. London: Methuen & Co ltd.
Munasinghe, Mohan. 1993. Environmetal Economics and Sustainable Development. Washington DC: World Bank.
Ranis, G.F. Stewart and A. Angeles-Reyes. 1990. Linkages in Developing Economies: A Philippine Case Study. San Fransisco International Center for Economimic Growth.
Rao, S.K; Mitra, S.K; Sahoo, B (ed). 1994. Agricultural Development. New Delhi: MD Publications Pvt Ltd.
Sadli, Saparinah. 1977. Persepsi Sosial mengenai Perilaku Menyimpang. Disertasi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Sale, Kirkpatrick. 1991. Dwellers in the Land: The Bioregional Vision. Philadelphia: New Society Publishers.
Santasombat, Y. 1992. Community Based Natural Resource Development in Thailand. Bangkok: Asian Review No. 6
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta: Rasindo.
Serageldin, Ismail and Michel A Cohen (Ed). 1995. The Human Face of the Urban Environment. A Report to the Development Community. Environmentally Sustainable Development Proceedings Series No. 5.  Washington: IBRD and World Bank.
Slamet, Juli Soemirat. 2002. Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Gadjahmada University Press
Smit, J.G. 1993. Land Development Policy and the Chences for Local Development initiatives in the Neyherlands: The Ooijpolder Case.  Netherlands: Departement of Sosial Geography of Developing Region, Centre of German Studies, Catholic University of Nijmegen.
Smith, V. Kerry. Can We Measure the Economic Value of Environmental Amenities. Southern Journal Vol 56 No.4 pp 865 - 878.
Soeryani, Mohammad. 1986. Arah pengelolaan Gulma di waktu mendatang dalam kaitannya dengan Wawasan Lingkungan. Disampaikan sebagai makalah utama dalam konferensi ke VII Himpunan Ilmu Gulma Indonesia pada tanggal 24februari-2 Maret 1986 di Bandung.
-------------------------. 1985. Ekologi Sebagai Landasan Dasar Ilmu Lingkungan. Makalah untuk kongres Nasional Biologi ke VII di Universitas Brawijaya Palembang 29-31 Juli 1985.
Soedjono, A.M. 1990. Partisipasi Keluarga dalam Memelihara Lingkungan di Perumahan yang Baru. (Studi Kasus di Perumnas Minomartani, Kelurahan Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, DIY). Tesis Program Pasca Sarjana IPB.
Stewart, Frances & Ejaz Ghani. 1991. How Significant Are Externalities for Development ? World Development Vol. 19 No.6 pp. 569 - 594. Great Britain: Pegamon Press.
Suryadi, Charles & Yvonne Suzy Handayani. 1999. Masalah Sampah Di Jakarta dan Permasalahannya.PPK Universitas Khatolik Atma Jaya.
Titienberg,T. 1992. Environmental Natural Resource Economics. Third Edition. New York: Harper Collin Publisher.
Yakin, Addinul. 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Teori dan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan.
Vincent, R. Jeffrey; Eric W Crowford &  John P Hoehn. 1990. Valuing Environmental Benefits in Developing Economics. Proceedings of Seminar Series at Michigan State University.
Whittington, Dale; et.al. 1993. Willingness to Pay For Improved Sanitation in Kumasi, Ghana: A Contingent Valuation Study. Dalam  Munasinghe, Mohan. 1993. Environmetal Economics and Sustainable Development. Washington DC: World Bank
Whittington, Dale; et.al. 1990 Willingness to Pay for Water Services in Suouthern Haiti. Dalam Munasinghe, Mohan. 1993. Environmetal Economics and Sustainable Development. Washington DC: World Bank.


Tidak ada komentar :

Posting Komentar