Perilaku Rumahtangga
dalam Pengelolaan Limbah Domestik di Sepanjang Aliran Ci liwung; Kasus
Desa-desa Wilayah Jakarta, Depok dan Bogor
Rudi Iskandar
Email: rudiiskandar@hotmail.com
(Dosen Geografi FIS UNJ)
ABSTRACT
The
aims of the study are to exemine: 1) Rural-urban typology in the region,
especially the villages along riversides of the Ci Liwung; and Indicators
determining rural-urban typology in the the region; 2) Factors influencing
perception, behavior, willingness to pay (WTP) and participation of the people
towards domestic waste managment.
A
field survey was conducted in 20 vilages of Ci Liwung riversides with samples
taken proportional to configuration of the typology. Collected data was
analized by using statistical analysis, like frequency, crossing tables, means,
standard deviation, and path analysis. This research set up a model of
relationship between perception, behaviour, WTP and participation to improve
the condition of domestic waste
managment. The model was especially set up based on the result of the path
analysis, the main analysing technique in the research.
The
research resumed that: (1) There are 75 villages crossed by Ci Liwung river from the upper to
the down stream most of them (85.2 %) are urban areas which categorised into “first
urban” (13.3 %) and “second urban
villages” (72,1 %)], others are “rural-urban transition” (9,3 %) and “rural villages” (5,3 %). (2) Indicators
determining the rural-urban typology in the region are: landuse pattern,
population density, proportion of slums areas, distance from urban facilities,
percentage of poor households; (3)
Determining indicators are specifics interm of index of housing quality,
index of environmental quality and behavioral characteristic of the people
(perception, behavior, WTP and participation towards domestic waste managment;
(4) Rural-urban typology and village characters are two main factors
influencing index of housing quality and index of environmental quality, (5)
Perception, behavior, WTP and participation towards domestic waste managment
are specifics interm of rural-urban typology, villages charateristics, index of
housing quality and index of environmental quality (6) The household behavior
towards domestic waste managment has no significant causal relation with their
perception, which indcate that a good perception is not always followed by a
good behavior either. (7) The participation of domestic waste managment have
been consistence to WTP, which means that their high WTP is always followed by
high participation
Keywords:
Household behavior, willingness to pay (WTP), Domestic waste managment,
rural-urban typology, Ci Liwung river.
PENDAHULUAN
Sampah merupakan
salah satu penyebab utama terjadinya degradasi lingkungan di wilayah perkotaan
(urban) khususnya dan daerah transisi desa-kota serta pedesaan (rural) umumnya.
Di DKI Jakarta saja misalnya, pada tahun 1999 dari 29.567 m3/hari,
67,86 % diantaranya berasal sampah rumahtangga; 9,15 % dari pasar-pasar; 4,5 %
dari pertokoan-pertokoan, 3,2 % dari perkantoran; 2,29 % dari jalan-jalan
dan 8 % dari pabrik-pabrik.
Kebijakan pengelolaan
lingkungan hidup, khususnya pengelolaan sampah yang ada sejauh ini, dipandang
belum secara optimal mempertimbangkan, menggunakan parameter kependudukan dan
lingkungan. Kebijakan yang ada umumnya masih belum secara optimal mengkaji
keterkaitan dan dinamika antara penduduk dan lingkungan hidupnya, sehingga
kebijakan yang diterapkan dalam salah satu sektor menimbulkan dampak negatif
bagi sektor lain atau kelompok masyarakat tertentu. Sebaliknya, kebijakan
bidang kependudukan, terkait kebijakan lingkungan hidup masih rendah. Secara
umum upaya pengelolaan lingkungan., khususnya sampah masih bersifat kuratif
(memperbaiki), aspek preventif seperti pencegahan pencemaran, perusakan
sumberdaya alam dan lingkungan masih belum memadai.
Karakteristik wilayah
yang berbeda (dalam hal ini dilihat pada kemiringan lereng) dan tipologi desa
dapat menyebabkan perbedaan perilaku penduduknya, termasuk pada perilaku
pengelolaan limbah rumahtangga. Di wilayah hulu misalnya, penduduk sudah
terbiasa menggunakan sungai dalam kehidupan sehari-hari seperti kegiatan mandi,
cuci dan kakus (MCK), bahkan untuk keperluan minum sekalipun. Karena kondisi
air sungai relatif bersih dan belum banyak beban pencemar yang masuk. Sementara
disebagian wilayah tengah dan hilir (sungai Ciliwung), keadaan sungai sudah
kurang layak digunakan untuk mandi dan cuci,
apalagi untuk keperluan minum. Sementara penduduk yang membuang
kotorannya (ekskreta) semakin banyak. Akibatnya fungsi sungai tidak
lebih dari sekedar selokan besar tempat membuang kotoran, termasuk sampah. Dari sini terlihat bahwa perilaku terhadap
penggunaan air sungai sudah berbeda saat ini antara daerah hulu, tengah dan
hilir. Pada lima puluh tahun yang lalu mungkin perbedaan ini belum begitu
banyak, karena keadaan sungai Ciliwung dari hulu hingga hilir masih relatif
baik karena jumlah penduduk yang menggunakan masih belum banyak, sementara
keadaan hutan masih relatif baik.
Pada saat ini
persoalannya menjadi lebih rumit ketika jumlah penduduk dan bangunan yang
berada disekitar bantaran sungai telah melampaui kemampuan sungai itu untuk
menjaga keseimbangannya. Keadaan sungai sudah menjadi jauh berbeda kualitasnya
(seiring dengan makin berkurangnya areal hutan), sehingga saat ini air sungai
Ciliwung kurang layak digunakan untuk aktivitas penduduk sehari-hari (di
wilayah hilir). Apalagi pada saat
kemarau, keadaan sungai Ciliwung disebagian wilayah tengah dan di wilayah hilir
keadaannya sudah sangat memprihatinkan. Perbedaan kondisi aktual karakteristik
wilayah DAS Ciliwung antara hulu, tengah dan hilir ini berakibat pada perbedaan
perilaku masyarakatnya, terutama dalam penggunaan sungai untuk kehidupan
sehari-hari.
Tabel 1. Jumlah Desa, KK dan Unit Bangunan pada Desa-Desa
yang dilalui Sungai Di Jabotabek Tahun 2000
WILAYAH JABOTABEK
|
Jumlah Desa
|
Jumlah Rumahtangga
|
Jml Unit Bangunan
|
||||
(1)
|
(2)
|
(1)
|
(2)
|
(1)
|
(2)
|
||
DKI
Jakarta
|
Jak-Sel
|
18
|
11
|
2.526
|
1543
|
1.278
|
781
|
Jak-Tim
|
18
|
12
|
2.773
|
1.752
|
2.241
|
1494
|
|
Jak-Pus
|
5
|
5
|
60
|
60
|
211
|
211
|
|
Jak-Bar
|
5
|
0
|
377
|
0
|
337
|
0
|
|
Jak-Ut
|
12
|
2
|
4.535
|
752
|
2.486
|
414
|
|
Jumlah
|
58
|
30
|
10.271
|
4.107
|
6.553
|
2.900
|
|
JABAR
|
Kab.Bogor
|
64
|
20
|
6.755
|
2.110
|
6.429
|
2.009
|
Kot.Bogor
|
26
|
15
|
2.337
|
1.348
|
1.741
|
1.004
|
|
Kab.Bekasi
|
51
|
0
|
5.122
|
0
|
5.088
|
0
|
|
Kot. Bekasi
|
7
|
0
|
317
|
0
|
284
|
0
|
|
Kot.Depok
|
20
|
9
|
4.670
|
2.089
|
4.552
|
2.045
|
|
Jumlah
|
168
|
44
|
19.221
|
5.547
|
18.094
|
5.058
|
|
BANTEN
|
Kab.Tange
|
45
|
0
|
1.394
|
0
|
1.242
|
0
|
Kot.Tange
|
17
|
0
|
1.186
|
0
|
1.331
|
0
|
|
|
Jumlah
|
62
|
0
|
2.580
|
0
|
2.573
|
0
|
Keterangan:
(1)
Jumlah Desa yang dilalui sungai
(2)
Jumlah Desa yang dilalui sungai Ciliwung
Besarnya jumlah
penduduk (1,8 juta jiwa), padatnya
bangunan (6.543 unit bangunan dan 232 lokasi pemukiman kumuh dengan luas 550,6
Ha), tingginya kepadatan per-unit bangunan rumah (5,5 jiwa per-unit bangunan
rumah) di sepanjang bantaran sungai, terutama untuk wilayah DKI Jakarta,
ternyata selain menimbulkan persoalan lingkungan yang sangat berat juga pada kesejahteraan penduduk di dalamnya.
Keadaan ini sebenarnya menimbulkan apa yang disebut dengan lingkaran setan
kemiskinan (vicious cyrcle poverty). Pada lokasi-lokasi ini paling
banyak ditemukan golonngan miskin. Persoalan ini sudah tentu membawa implikasi
pada kegiatan lain seperti kebersihan dan kenyamanan lingkungan.
Menurut Direktorat
Analisa Sistem BPPT (1992) setiap orang di Indonesia mengeluarkan 0,6 kilogram
(Kg) sampah rumahtangga dengan volume 3 liter. Atas dasar asumsi tersebut maka
pada tahun 2000 akan ada 21.592 Kg sampah per-hari, ada 647,757 ton per-bulan
dan ada 7,8 juta ton per-tahun; pada daerah yang bersentuhan langsung dengan sungai-sungai
yang ada di jabotabek. Belum lagi sampah yang dihasilkan oleh perkantoran,
industri kecil dan pabrik di sepanjang bantaran sungai itu. Oleh karena begitu
rumitnya masalah sampah ini, jika tidak secara tepat ditanggulangi, maka akan
menimbulkan masalah pencemaran sungai yang lebih hebat dari saat ini yang
memang sudah rusak, dan akhirnya lingkungan secara keseluruhan akan menjadi
rusak pula. Rusaknya lingkungan dapat menyebabkan menurunnnya kualitas lingkungan hidup, sedangkan kualitas
lingkungan dapat mempengaruhi kesejahteraan hidup manusia.
Berkaitan dengan
persoalan sampah disepanjang bantaran sungai Ciliwung, maka perilaku penduduk
dan fasilitas pembuangan sampah merupakan faktor yang turut menentukan
pencemaran air sungai. Persoalan perilaku
penduduk dalam membuang sampah ini sangat erat kaitannya dengan persepsi dan
sikapnya terhadap lingkungan sekitar khususnya tentang sampah dan manfaat
sungai bagi mereka. Melihat karakteristik daerah antara hulu, tengah dan hilir
sungai berbeda secara fisik, diduga turut mempengaruhi pula perilakunya
terhadap pengelolaan limbah rumhatangga.
Seperti yang terdapat
pada Tabel 1, daerah bantaran sungai merupakan
daerah padat penduduk dan banyak terdapat kantong-kantong kemiskinan,
yang jelas merupakan daerah yang memiliki status sosial ekonomi menengah ke
bawah. Seperti halnya yang terjadi di tempat lain, salah satu yang penting
dalam mengatasi persoalan kemiskinan adalah menggerakkan partisipasi mereka
dalam pembangunan lingkungan hidup. Antara kebutuhan mereka dalam
mempertahankan hidup, dengan masalah kebutuhan untuk mempertahankan kondisi
lingkungan yang berkelanjutan (sustainable), banyak menghadapi kendala.
Contoh yang dekat dengan hal itu adalah begitu padatnya penduduk yang tinggal
dibantaran sungai sehingga menyebabkan sungai menjadi kotor dan tidak nyaman.
Fungsi sungai disini tidak lebih sebagai tempat pembuangan sampah atau semacam
selokan dimana mengalir berbagai macam sisa buangan (limbah). Agar sungai
menjadi bersih dan nyaman, maka salah satu caranya adalah meningkatkan
pemahaman masyarakat tentang pengelolaan sampah rumahtangga, khususnya di
wilayah desa-desa bantaran sungai yang mana daerah yang terlibat langsung
dengan keberadaan sungai. Selain kontribusinya terbesar dalam menghasilkan volume
sampah, pengelolaan sampah rumahtangga relatif lebih rumit dibandingkan limbah
pabrik dan perkantoran, karena melibatkan berbagai komponen masyarakat yang
kompleks dan besar, terutama pada aspek pemantauan dan tingkat pemahaman
terhadap lingkungan.
METODOLOGI PENELITIAN
Untuk mendapatkan
indeks yang dapat menjelaskan tipologi desa di Jabotabek, digunakan data
Potensi Desa (Podes) tahun 2000 dari Badan Pusat Statistik (BPS). Dari 130
variabel, yang terdiri dari 96 variabel yang dipilih dari data Podes ‘2000 dan
34 variabel yang dikembangkan dari data podes ‘2000, diperoleh 23 variabel yang
relevan untuk dianalisis dalam kaitannya dengan penentuan tipologi Desa di
Jabotabek. analisis dengan menggunakan teknik factor analysis (FA) atau Principle
Componenet Analysis (PCA)
PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis
dengan menggunakan teknik factor analysis (FA) atau Principle
Componenet Analysis (PCA) terhadap 1488 desa di Jabotabek, maka berhasil
menetapkan 9 faktor utama (factor loading) yang signifikan untuk
menjelaskan tipologi wilayah desa. Kesembilan factor loading tersebut
adalah:
Faktor 1, meliputi: semakin tinggi persentase keluarga
pra-sejahtera dan sejahtera 1, maka semakin tinggi pula persentase luas sawah
berpengairan yang diusahakan. Tetapi, luas perumahan dan permukiman akan
semakin berkurang. Selanjutnya faktor 1 ini disebut sebagai indeks sawah dan
permukiman.
Faktor 2, meliputi: semakin rendah persentase luas lahan
perkebunan, maka jumlah sekolah menengah
atau sederajat juga semakin rendah. Selanjutnya faktor 2 ini disebut
sebagai indeks pendidikan.
Faktor 3, meliputi: semakin rendah jumlah rumahtangga yang
menerima surat miskin, maka semakin rendah pula persentase rumahtangga yang
menerima surat miskin. Selanjutnya disebut indeks kemiskinan.
Faktor 4, meliputi: semakin rendah kepadatan penduduk total desa,
maka semakin rendah pula persentase luas permukiman kumuh. Selanjutnya disebut indeks
kepadatan & kekumuhan.
Faktor 5, meliputi: semakin jauh jarak desa terhadap rumah
bilyar, maka semakin jauh pula jarak terhadappub/diskotik/karaoke. Selanjutnya
disebut indeks kedekatan dengan fasilitas hiburan.
Faktor 6, meliputi: ukuran rumahtangga (jiwa/rumahtangga).
Selanjutnya disebut indeks ukuran keluarga.
Faktor 7, meliputi: persentase luas ladang/huma/tegal/kebun/kolam tambak/empang/
penggembalaan/ ladang rumput. Selanjutnya disebut indeks pertanian selain
sawah & perkebunan.
Faktor 8, meliputi: kepadatan orang per-bangunan rumah
(jiwa/bangunan rumah). Selanjutnya disebut indeks kepadatan rumahtangga.
Faktor 9, meliputi:
jumlah unit industri per-desa. Selanjutnya disebut indeks industri.
Selanjutnya, melalui
faktor skor (FS) ditentukan pengelompokan (grouping) desa-desa yang ada
di Jabotabek dengan teknik cluster. Dari 1488 desa-desa yang ada di
Jabotabek, dikelompokkan menjadi 4 tipe desa, yaitu tipe urban 1, tipe urban 2,
transisi rural-urban (desa-kota) dan tipe rural. Dibedakannya tipe urban 1 dan
tipe urban 2 lebih didasarkan pada fakta bahwa kondisi fisik perkotaan (urban)
di Jakarta dan luar Jakarta begitu ekstrim perbedaannya, sehingga perlu
dibedakan secara gradual, agar terlihat pergeserannya. Berdasarkan hasil
analisis dengan teknik factor analysis (lampiran 3) & discriminant
(lihat lampiran 4) terhadap 1488 desa yang ada di Jakarta, Bogor (meliputi
Kabupaten Bogor, Kota Bogor dan Kota Depok), Tangerang, dan Bekasi; maka
diperoleh hasil indikator penentu yang disajikan pada Tabel 2. berikut.
Tabel 2. Indikator Penentu Tipologi Desa Jabotabek Tahun 2002
INDIKATOR
|
TIPOLOGI DESA
|
|||
Urban 1
|
Urban 2
|
Transisi R-U
|
Rural
|
|
1. Penggunaan Lahan
|
Dominan Lahan terbangun
|
Dominan Lahan terbangun
|
Lahan terbangun
& pertanian seimbang
|
Dominan pertanian sawah
|
2. Kepadatan Penduduk
|
Tinggi
|
Sedang
|
Sedang
|
Sedang
|
3. Areal Permukiman Kumuh
|
Luas
|
Sedang
|
Sedang
|
Sedang
|
4. Jarak ke Fasilitas Hiburan
|
Sedang
|
Jauh
|
Dekat
|
Sedang
|
5. Persentase pra-KS & KS I
|
Rendah
|
Rendah
|
Sedang
|
Tinggi
|
Setelah dilakukan
klasifikasi rural-uban di Jabotabek, maka dilakukan penidentifikasian desa-desa
yang dilalui oleh sungai utama (outlet) Ciliwung. Pengidentifikasian
dilakukan melalui peta rupa bumi lembar Cisarua di selatan (hulu sungai
Ciliwung) hingga peta rupa bumi lembar
tanjukpriok di utara (muara sungai Ciliwung). Hasil pengindentifikasian
diperoleh 75 desa yang dilalui (sisi kanan dan sisi kiri sungai Ciliwung). Dari
75 desa yang telah diidentifikasi, maka dilakukan tampalan (overlay)
secara digitasi dengan klasifikasi rural-urban yang telah dibuat sebelumnya.
Hasilnya disajikan dalam Tabel 3. Berikut.
Tabel 3. Desa-Desa
yang Dilalui Aliran sungai Ciliwung Di Jakarta-Depok-Bogor
W I L A Y A H
|
U R B A N R U
R A L
|
TOTAL
|
|||
Tipe 1
(Urban-1)
|
Tipe 2
(Urban-2)
|
Tipe 3
(Transisi)
|
Tipe 4
(Rural)
|
||
1.Kabupaten Bogor
|
0
|
11
|
7
|
2
|
20
|
2. Kota Bogor
|
1
|
13
|
0
|
2
|
16
|
3. Kota Depok
|
0
|
9
|
0
|
0
|
9
|
4. Jakarta Timur
|
5
|
7
|
0
|
0
|
12
|
5. Jakarta Selatan
|
3
|
8
|
0
|
0
|
11
|
6. Jakarta Pusat
|
1
|
4
|
0
|
0
|
5
|
7. Jakarta Utara
|
0
|
2
|
0
|
0
|
2
|
T O T A L
|
10
|
54
|
7
|
4
|
75
|
Berdasarkan Tabel 3.
diketahui bahwa dari hulu hingga hilir sungai Ciliwung, 85,2 % desa-desanya
adalah bertipologi urban (teridir dari 13,3 % tipe urban 1 dan 72 % tipe Urban
2) dan 9,3 % bertipologi rural-urban dan sisanya 5,3 % adalah bertipologi rural. Melihat hasil
analisis tersebut maka secara nyata dapat diketahui bahwa telah terjadi proses
urbanisasi, dimana sebagian besar adalah tipe desa-desanya sudah bersifat
urban, hanya sebagian kecil yang bersifat transisi rural-urban dan rural.
Berdasarkan hasil
analisis model estimasi jalur antar peubah yang mempengaruhi persepsi,
perilaku, kesediaan membayar dan partisipasi tentang pengelolaan limbah
domestik ditingkat lokal yang meliputi
wilayah urban 1, urban 2, transisi rural-urban dan rural, maka diperoleh
temuan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi, perilaku, kesediaan membayar dan partisipasi dalam pengelolaan limbah
domestik/rumahtangga.
Tabel 4. Hubungan antar-peubah Penelitian Menurut Tipologi Desa Di Jadebo
2002
Aspek
|
Urban 1
|
Urban 2
|
Transisi
|
Rural
|
Agregat
|
||||||||||||||||||
p
|
b
|
w
|
a
|
p
|
B
|
w
|
a
|
p
|
b
|
w
|
a
|
p
|
b
|
w
|
a
|
p
|
b
|
w
|
A
|
||||
1. Indeks Rumah
|
0
|
+
|
0
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
-
|
|||
2. Indeks
Kebutuhan tempat tinggal
|
0
|
+
|
0
|
+
|
0
|
0
|
0
|
0
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
-
|
|||
3. Pendapatan
|
0
|
+
|
0
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
|||
4. Ukuran
keluarga
|
0
|
+
|
+
|
+
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
-
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
|||
5. Pekerja
Angkutan
|
+
|
+
|
+
|
+
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
|||
6. Pengangguran
|
+
|
+
|
+
|
-
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
|||
7. Pendidikan
|
0
|
0
|
0
|
0
|
+
|
+
|
0
|
-
|
+
|
+
|
+
|
+
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
|||
8. Usia
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
+
|
+
|
+
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
|||
9. Tipologi
Wilayah transisi/
daerah
tengah Ciliwung
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
+
|
+
|
+
|
+
|
|||
10. Persepsi ttg limbah domestik
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
+
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
|||
11. Perilaku kelola limbah domestik
|
0
|
0
|
+
|
0
|
0
|
0
|
+
|
0
|
0
|
0
|
+
|
0
|
0
|
0
|
+
|
0
|
0
|
0
|
+
|
0
|
|||
12. Kesediaan Membayar
|
0
|
0
|
0
|
+
|
0
|
0
|
0
|
+
|
0
|
0
|
0
|
+
|
0
|
0
|
0
|
+
|
0
|
0
|
0
|
+
|
|||
13. Nilai (Rp) Partisipasi
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
|||
Keterangan:
|
0
= tidak nyata/tidak
ada kaitan
+ =
nyata (+)
-
= nyata (-)
|
p = Persepsi
b =
Perilaku
w =
Kesediaan membayar
a =
Partisipasi
|
|||||||||||||||||||||
Berdasarkan Tabel 4.
Diketahui bahwa kemampuan ekonomi rumahtangga muncul sebagai faktor yang
signifikan di semua tipologi (baik total agregat mapun lokal). Perbedaannya,
diwilayah urban 1 kemampuan ekonomi rumahtangga berpengaruh positif kepada
perilaku dan partisipasi pengelolaan limbah domestik. Sedangkan di wilayah urban 2, transisi
rural-urban dan rural kemampuan ekonomi berpengaruh positif kepada persepsi,
perilaku, kesediaan membayar dan partisipasi. Kombinasi kemampuan ekonomi rumahtangga
tersebut juga cukup bervariasi diberbagai tipologi, misalnya di wilayah urban 1
dan urban 2 kombinasinya adalah indeks
rumah, indeks kebutuhan tempat tinggal di bantaran sungai Ciliwung dan
pendapatan total keluarga. Di wilayah transisi rural-urban meliputi indeks
rumah, indeks kebutuhan tempat tinggal di bantaran sungai Cilwung dan
pendidikan. Di wilayah rural dan ditingkat total agregat meliputi indeks rumah dan indeks kebutuhan tempat
tinggal di bantaran sungai Ciliwung. Tetapi ditingkat total agregat desa-desa
disepanjang aliran sungai Ciliwung, dimana indeks rumah dan indeks kebutuhan
tempat tinggal di bantaran sungai Ciliwung (kemampuan ekonomi rumahtangga)
berpengaruh positif terhadap persepsi, perilaku dan kesediaan membayar; kecuali
berpengaruh negatif terhadap partisipasi. Fenomena yang terakhir ini (total
agregat) menunjukkan bahwa partisipasi rumahtangga dalam pengelolaan sampah
lingkungan dapat tidak produktif jika tidak disertai dengan hasil nyata
dilapangan yang mereka alami sehari-hari. Temuan yang terakhir ini menunjukkan
bahwa ada persoalan dalam pengelolaan sampah lingkungan, khususnya persoalan
kelembagaan dalam menggerakkan partisipasi masyarakat untuk membantu pemerintah
dalam mengatasi persoalan sampah domestik. Dugaan adanya masalah kelembagaan
dalam pengelolaan sampah ini, didasarkan pada kecenderungan masyarakat pada
tingkat rumahtangga yang justru mampu secara ekonomi, tetapi menolak
(mengurangi) untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah domestik (teruatama
di wilayah urban 1, urban 2 & rural). Hal ini diduga tidak adanya atau
tidak berfungsinya lembaga pengelolaan sampah, sehingga secara fakta dilapangan
terjadi penumpukan sampah dimana-mana secara tidak teratur, seperti di di dalam
sungai, di pinggiran sungai, dipinggir jalan, saluran pembuang air dan lain-lain.
Fungsi kelembagaan sebagai operative institution (melalui perangkat
aturan untuk mengelola aktivitas masyarakat, khsusnya dalam pengelolaan sampah)
dan regulative institution (sistem pengwasan dan kontrol terhadap
perilaku masyarakat) tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga orang tidak
merasa terikat oleh peraturan tertentu oleh lembaga tertentu, akibatnya
perilaku orang dalam membuang sampah tidak dapat dikontrol. Akibatnya yang kita
lihat adalah menumpuknya sampah disembarang tempat seperti di dalam badan
sungai dan dipinggir sungai. Dampaknya sudah tentu akan dirasakan disepanjang
aliran sungai (Ciliwung), dan yang paling merasakan adalah penduduk di bagian
hilir sungai (DKI Jakarta). Inilah juga salah satu penyebab mengapa rendahnya
orang bersedia membayar biaya pengelolaan limbah domestik (sampah rumahtangga)
di bagian hilir, karena banyaknya sampah yang menumpuk dilingkungan mereka
bukan berasal dari tempat lain seperti dari hulu dan tengah aliran sungai
Ciliwung yang dibawa oleh aliran sungai, karena sampah-sampah itu dibuang di
dalam badan sungai atau di pinggir sungai. Hal ini terbukti dengan rendahnya
kesediaan membayar biaya pengelolaan sampah domestik, dimana hampir 30 persen
rumahtangga dari 449 yang dijadikan responden tidak bersedia membayar. Diantara
yang bersedia 55 % diantaranya hanya bersedia Rp 1000 – Rp 2999 perbulan dan
tidak sampai 4 % yang bersedia di atas Rp 5000/bulan. Walaupun begitu nilai
kesediaan membayar biaya pengelolaan sampah yang ditemukan di wilayah
penelitian ini sedikit lebih baik dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Suryadi dkk (1999) di Jakarta, dimana hnaya 45,7 % yang mebayar antara Rp
500 – Rp 3000 perbulannya. Sementara itu, menurut peraturan daerah (Perda)
Kabupaten Bogor No. 19 tahun 1998 tentang restribusi pelayanan persampahan/ kebersihan,
menentukan struktur dan besarnya tarif untuk pengambilan, pengangkutan dan
pemusnahan sampah rumahtangga ditetapkan berdasarkan luas bangunan.
Tabel 5.
Struktur dan Besarnya Tarif Angkutan Pengelolaan Sampah
di Kabupaten Bogor menurut Perda No. 19 Tahun 1998
Permukiman umum
(luas bangunan)
|
Biaya
(Rp)/bln
|
Real Estat
(luas bangunan)
|
Biaya
(Rp)/bln
|
1. 21 m2
2. >21 m2
- 70 m2
3. 71 m2
- 200 m2
4. 201 m2
– 300 m2
5. > 300 m2
|
750
2000
3000
4000
6000
|
1. -
2. >21 m2
– 70 m2
3. 71 m2
– 200 m2
4. 201 m2
– 300 m2
5. > 300 m2
|
4000
6000
7000
8000
|
Berdasarkan kenyataan
di lapangan, bahwa besarnya tarif angkutan pengelolaan sampah sulit diterapkan,
terutama di permukiman umum, dimana tidak ditetapkan oleh luas bangunan, tetapi
lebih pada kesepakatan iuran yang ditetapkan oleh masyarakat. Karena besarnya
variasi luas bangunan permukiman umum, nampaknya yang lebih cocok dan mudah
dalam menentukan besarnya tarif adalah berdasarkan ukuran keluarga atau
banyaknya anggota keluarga yang menempati suatu bangunan rumah. Disamping
datanya mudah tersedia sampai tingkat Rukun Tetangga (RT), ketentuan ini juga
dapat mengandung unsur pendidikan Keluarga Berancana (KB), dimana semakin
banyak anggota keluarga, maka biaya pengelolaan sampah akan semakin besar.
Untuk diperumahan teratur (real estat), stuktur tarif ini juga perlu
mempertimbangkan ukuran keluarga di samping luas dan kualitas rumah, dengan
harapan adanya subsidi silang dalam pengelolaan limbah domestik ditingkat masyarakat.
Di luar regulasi
tarif pengelolaan sampah rumahtangga yang sudah ditetapkan di atas, sejauh ini
yang ditemui oleh peneliti dan selalu menjadi pertanyaan di masyarakat adalah
sejauh mana manfaat iuran sampah itu bagi pengelolaan kebersihan di masyarakat,
mengingat kenyataan yang terjadi di masyarakat sehari-hari pengelolaan sampah
tidak banyak perubahan atau bahkan semakin memburuk. Jadi, masalah kelembagaan
pengelolaan sampah di masyarakat yang utama adalah tidak sesuainya aturan yang
berlaku dengan perubahan perbaikan pengelolaan sampah di masyarakat. Nampaknya,
penyebab utamanya adalah masalah sampah ini belum menjadi prioritas penting
baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Persamaan lainnya
adalah faktor internal signifikan dalam mempengaruhi persepsi, perilaku,
kesediaan membayar dan partisipasi; kecuali di wilayah rural tidak signifikan
dalam mempengaruhi. Tetapi masing-masing tipologi berbeda peubahnya, misalnya
di wilayah urban 1 jenis pekerjaan dan ukuran keluarga, di wilayah urban adalah
pendidikan, di wilayah transisi rural-urban adalah usia. Adanya persamaan dan
perbedaan dalam mempengaruhi persepsi, perilaku, kesediaan membayar dan
partisipasi dalam pengelolaan limbah domestik menunjukkan bahwa tipologi
wilayah cukup menentukan dalam mempengaruhi persepsi, perilaku, kesediaan
membayar dan partisipasi seperti yang ditunjukkan pada model agregat desa-desa
disepanjang aliran sungai Ciliwung (gambar 15). Kecuali di wilayah rural, pada
semua tipologi desa (secara lokal) dan ditingkat total agregat desa-desa disepanjang bantaran sungai
Ciliwung, persepsi tentang limbah domestik tidak signifikan dalam mempengaruhi
perilaku tentang pengelolaan limbah domestik.
Tidak signifikannya
persepsi dalam mempengaruhi perilaku, diduga ada masalah dalam pembentukan
persepsi, baik pada institusi pendidikan, institusi lain yang berkaitan dengan
pelaksanaan program penyuluhan tentang lingkungan maupun realitas kondisi
lingkungan yang ada. Pada institusi pendidikan, seperti yang diuraikan
sebelumnya, bahwa tidak relevannya kurikulum pendidikan formal dengan kebutuhan
lokal khususnya yang berkaitan dengan pengenalan lingkungan. Pada institusi
Pemerintah Daerah (Pemda), diduga minim dalam melaksanakan penyuluhan tentang
lingkungan, khususnya tentang limbah rumahtangga. Kalaupun ada, pelaksanaannya cenderung
bersifat formalistik dan kurang menyentuh kepentingan langsung masyarakat.
Kebiasaan yang sering terjadi adalah “asal ada kegiatan pelaksanaan program
kegiatan”, sementara sejauhmana ketercapaian program itu adalah masih belum
menjadi sasaran utama. Akibatnya, yang diutamakan adalah budaya laporan
kegiatan yang tidak sesuai dengan kenyataan, karena evaluasi terhadap suatu
program kurang mendapat perhatian.
Persepsi tentang
limbah rumahtangga (sebagai pernyataan verbal) dtingkat total agrgat, urban 1,
urban 2 dan transisi rural-urban; tidak berpengaruh secara signifikan kepada
perilaku tentang pengelolaan limbah rumahtangga/domestik. Hal ini menunjukkan
bahwa perilaku tentang pengelolaan limbah rumahtangga tidak konsisten dengan
persepsinya. Kurang sesuainya perilaku masyarakat tentang pengelolaan limbah
dengan persepsi (sebagai pernyataan verbal),
karena perilaku sebagai suatu tindakan (action) nyata lebih
dipengaruhi oleh kenyataan praktis yang terjadi dilingkungannya, disamping
faktor internal yang pragmatis seperti pendapatan. Dengan adanya temuan
terakhir ini, maka lebih memperjelas temuan dalam melihat mengapa perilaku tentang limbah rumahtangga tidak
konsisten dengan persepsinya. Hal ini dibuktikan bahwa pada tipologi rural,
pengaruh persepsi signifikan dalam mempengaruhi perilaku. Temuan ini
menunjukkan bahwa persepsi sebagai penyataan verbal dapat terbentuk oleh
kondisi lingkungan yang masih baik, seperti kondisi lingkungan di pedesaan.
Temuan terakhir ini menunjukkan bahwa selain terdapat persoalan instiusi dalam
pembentukan persepsi khususnya persepsi tentang limbah domestik, disebagian
besar desa-desa sepanjang aliran sungai Ciliwung, juga disebabkan oleh rusaknya
lingkungan. Oleh karena menurunnya secara drastis kualitas lingkungan ini
menyebabkan tidak munculnya kearifan lokal (local genius) di masyarakat
karena semua telah mengalami proses urbanisasi. Untuk memperbaiki persepsi,
perilaku, kesediaan membayar dan partisipasi pengelolaan limbah domestik; sangat
penting untuk membangkitkan kembali kearifan lokal dengan membangkitkan lagi
unsur-unsur budaya lokal seperti gotong-royong dimasyarakat. Selain itu, untuk
mengubah perilaku tentang pengelolaan limbah rumahtangga maka perlu dilakukan
perubahan nyata kondisi lingkungan di sepanjang bantaran sungai Ciliwung. Hal
ini dapat dilakukan melalui penertiban dan penataan kondisi lingkungan
perumahan. Disamping itu dilakukan alih pengetahuan (transformasi) yang tidak
terlalu teoritis seperti melalui diskusi pemecahan masalah bersama,
penyuluhan-penyuluhan dengan menggunakan
teknik problem solving atau pemecahan masalah, dan penggunaan agenda
aksi yang disusun oleh masyarakat itu sendiri dalam mengatasi masalah sampah.
Secara pragmatis adalah dengan meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat
melalui penciptaan lapangan kerja, pembangunan perumahan yang layak, memberikan
sanksi bagi para pelanggar pembuangan sampah dan memberikan penghargaan bagi
yang berperilaku baik dalam pengelolaan limbah rumahtangga. Selain itu juga,
berdasarkan temuan lapangan (survai) juga diketahui bahwa tidak tersedianya
fasilitas penampungan sampah sementara sebagai pilihan anggota masyarakat dalam
membuang sampah menyebabkan sebagian masyarakat yang tidak memiliki penampung
sampah sementara di rumah (karena tidak ada pekarangan) cenderung membuang
sampah di pinggiran sungai.
Kesimpulan
Indikator penentu
tipologi desa di Jabodetabek (berdasarkan data potensi desa 2000)
sekurang-kurangnya ada 5 aspek: (1). Penggunaan lahan, (2) Kepadatan penduduk
total, (3) Luas areal permukiman kumuh, (4) Jarak ke fasilitas hiburan, (5)
Persentase rumahtangga miskin (pra-sejahtera & sejahtera I). Berdasarkan
indikator di atas, maka tipologi desa di Jabodetabek dapat dikelompokkan
menjadi 4, yaitu: Tipologi Urban 1, Urban 2, Transisi rural-urban dan Rural
Terdapat 75 desa di sepanjang aliran sungai Ciliwung dengan rincian sebagai
berikut: 13,3 % adalah desa tipe urban
satu, 72 % adalah desa tipe urban dua, 9,3 % desa tipe transisi
rural-urban, 5,3 % tipe rural. Dengan melihat hasil tersebut maka desa-desa di
sepanjang aliran sungai Ciliwung telah mengalami proses urbanisasi..
Dibandingkan dengan tipologi desa lainnya, secara total agregat (gabungan
seluruh tipologi), di wilayah transisi rural urban yang terletak di bagian
tengah aliran sungai Ciliwung; kondisi persepsi, perilaku, kesediaan membayar
dan partisipasi responden dalam pengelolaan limbah domestik khususnya sampah
rumahtangga lebih baik dibandingkan dengan wilayah urban 1, urban 2 dan rural.
Persepsi tentang limbah domestik secara siginifikan
ditentukan oleh: faktor indeks dan
kebutuhan tempat tinggal atau kemampuan ekonomi rumahtangga signifikan dalam
menentukan persepsi tentang limbah
domestik (kecuali Tipologi urban 1). Pada wilayah yang kondisi lingkungannya
relatif lebih baik dan rumahtangga yang memiliki kemampuan ekonomi baik
cenderung memiliki persepsi yang baik tentang limbah domestik.
Perilaku pengelolaan limbah domestik secara signifikan
ditentukan oleh: pada semua tipologi (kecuali di wilayah rural), perilaku
pengelolaan tidak signifikan terhadap persepsinya. Tidak signifikannya persepsi
dalam mempengaruhi perilaku pada semua tingkat (level) dan tipologi
(kecuali tipologi rural), menunjukkan adanya masalah kelembagaan pengelolaan
limbah domestik. Hal ini terjadi diantaranya adalah karena masalah sampah belum
menjadi prioritas penting baik pemerintah maupun masyarakat di wilayah
penelitian. Tidak signifikannya pengaruh persepsi kepada perilaku di semua
tingkat dan tipologi (kecuali tipologi rural) sekurang-kurangnya disebabkan dua
hal: (1) masalah tidak ada atau belum efektifnya kelembagaan pengelolaan sampah
yang ada selama ini, (2) kondisi lingkungan sebagian besar sepanjang aliran
sungai Ciliwung sudah relatif memburuk karena proses urbanisasi.
Kesediaan membayar biaya pengelolaan limbah
rumahtangga/domestik secara signifikan ditentukan oleh: pada semua tipologi,
faktor perilaku pengelolaan limbah domestik, indeks rumah dan kebutuhan tempat
tinggal atau kemampuan ekonomi signifikan dalam menentukan kesediaan membayar
biaya pengelolaan limbah domestik. Tetapi perilaku pengelolaan secara
keseluruhan (total agregat atau gabungan seluruh tipologi) berada pada kondisi yang jelek, sehingga
kesediaan membayarnya juga relatif rendah.
Partisipasi (gotong royong) penduduk dalam pengelolaan
limbah/sampah rumahatangga/domestik secara signfikan ditentukan oleh: pada
semua tipologi (kecuali di wilayah transisi rural-urban yang tidak signifikan),
faktor internal (seperti pendidikan, usia, pekerjaan) memberikan pengaruh yang
negatif kepada partisipasi. Sedangkan kemampuan ekonomi rumahtangga dan
kesediaan membayar memberikan pengaruh positif. Baik pada tingkat total agregat
maupun lokal (semua tipologi desa), kesediaan membayar lebih dominan dalam
mempengaruhi partisipasi dalam pengelolaan sampah lingkungan, walaupun dalam
nilai yang relatif rendah. Kemampuan ekonomi rumahtangga (indeks kepemilikan
rumah, indeks kebutuhan tempat tinggal dan pendapatan) berpengaruh secara
signifikan terhadap persepsi, perilaku, kesediaan membayar dan partisipasi
pengelolaan limbah domestik disemua tingkat/level dan tipologi.
DAFTAR PUSTAKA
Abler, Ronald; J.S. Adams; Peter Gould.
1977. Spatial Organisation: the geographers
view of the world. London: Prentice Hall.
Asher, Herbert B. 1976. CAUSAL MODELING.
London: SAGE Publication.Inc.
Baldares, J. Manuel & Jan G. Laarman.
1990. User Fees at Protected Areas in Costa Rica. Dalam Vincent, R.
Jeffrey; Eric W Crowford & John P
Hoehn. 1990. Valuing Environmental Benefits in Developing Economics.
Proceedings of Seminar Series at Michigan State University.
BAPPEDA Kabupaten Bogor. 2002. Kebijakan
Kabupaten Bogor dalam Penanganan DAS Ciliwung.
Behera, M; Mitra, A.K; Sahoo, B (ed).
1994. Planning for Integrated Area Development in a Backward Block of
Orissa. New Delhi: M.D Publications Pvt Ltd.
Caldwell, W.J. Consideration of the
Environment: an Approach for Rural Planning and Development. Journal of Soil
and Water Consevation. Ontario: Huron County Departement of Planning and
Development.
Dieren, Wouter Van. 1995. Taking Nature
Into Club A Report to the Club of Rome. New
York: Copernicus
Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup
Pemerintah Kabupaten Bogor. 2001. Program Kerja Daerah 2005 Kabupaten Bogor.
Djaja, I Made. 1986. Pengelolaan Sampah
Padat. dalam “Kesehatan Lingkungan”.
Jakarta: Depdikbud dan FKM UI.
Dowell, David E and Giles Clark. 1996. A
Framework For Reforming Urban Land Policies in Developing Countries. Urban Management Programme Series.
Washington: IBRD and World Bank.
Folmer, henk; H. Landis Gabel & Hans
Opschoor (Editor). 1995. Principles of Environmental and Resource Economics.
A Guide for Students and Decision Makers.
Harvey, Milton E and Brian P. Holly. 1991.
Themes in Geographic Thought. London: Croom Helm.
Haryadi & B. Setiawan. 1995. Arsitektur
Lingkungan dan perilaku, Suatu Pengantar Teori, Metodologi dan Aplikasi.
Universitas Gadjah Mada dan Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan, Dirjen
Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hurst, ME, Eliot. 1972. A Geography of
Economic Behaviour. Belmont California: Duxbury Press.
Isard, W. 1956. Location and Economy: a
general theory relating to industrial location, market areas, landuse, trade
and urban structure. Massachuset: MIT press.
Janelle, D.G. 1994. Spatial Organisation:
A Model and Concept dalam Michael E. Eliot
Hurst (ed). Transportation Geography: Comments and Readings. New York:
McGraw Hill.
Koestoer, Raldi Hendro. 1997. Perspektif
Lingkungan Desa-Kota: Teori dan Kasus. Jakarta: UI Press.
Kusnoputranto, Haryoto. 1997. Air
Limbah dan Ekskreta Manusia, Aspek Kesehatan Masyarakat dan Pengelolaannya.
Dirjen Dikti Depdikbud.
_______________ . 1986. Air Buangan dan
Kesehatan, dalam “Kesehatan Lingkungan”. Jakarta: Depdikbud dan FKM UI.
_______________ . 1986. Tinja dan Kesehatan
dalam “Kesehatan Lingkungan”.
Jakarta: Depdikbud dan FKM UI.
Mantra, Ida Bagoes dan Kasto. 1989. Penentuan
Sampel (dalam ‘Metode Penelitian Survay’ oleh Masri Singarimbun dan Sofian
Effendi) 149-174. Yogyakarta: LP3ES.
Moore, T.G. 1994. Rural Planning
Progrss in a Persistent Problem Area: The Central Apphalachian Example. Charlotte: Departement of Geography and Earth
Sciences University os Carolina.
Mosseley, M.J. 1979. Accecibility:
the rural Challenge. London: Methuen & Co ltd.
Munasinghe, Mohan. 1993. Environmetal
Economics and Sustainable Development. Washington DC: World Bank.
Ranis, G.F. Stewart and A. Angeles-Reyes.
1990. Linkages in Developing Economies: A Philippine Case Study. San
Fransisco International Center for Economimic Growth.
Rao, S.K; Mitra, S.K; Sahoo, B (ed). 1994.
Agricultural Development. New Delhi: MD Publications Pvt Ltd.
Sadli, Saparinah. 1977. Persepsi Sosial
mengenai Perilaku Menyimpang. Disertasi. Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
Sale, Kirkpatrick. 1991. Dwellers in
the Land: The Bioregional Vision. Philadelphia: New Society Publishers.
Santasombat, Y. 1992. Community Based
Natural Resource Development in Thailand. Bangkok: Asian Review No.
6
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1992. Psikologi
Lingkungan. Jakarta: Rasindo.
Serageldin, Ismail and Michel A Cohen
(Ed). 1995. The Human Face of the Urban Environment. A Report to
the Development Community. Environmentally Sustainable Development Proceedings
Series No. 5. Washington: IBRD and World
Bank.
Slamet, Juli Soemirat. 2002. Kesehatan
Lingkungan. Jakarta: Gadjahmada University Press
Smit, J.G. 1993. Land Development
Policy and the Chences for Local Development initiatives in the
Neyherlands: The Ooijpolder Case.
Netherlands: Departement of Sosial Geography of Developing Region,
Centre of German Studies, Catholic University of Nijmegen.
Smith, V. Kerry. Can We Measure the
Economic Value of Environmental Amenities. Southern Journal Vol 56 No.4 pp
865 - 878.
Soeryani, Mohammad. 1986. Arah
pengelolaan Gulma di waktu mendatang dalam kaitannya dengan Wawasan Lingkungan.
Disampaikan sebagai makalah utama dalam konferensi ke VII Himpunan Ilmu Gulma
Indonesia pada tanggal 24februari-2 Maret 1986 di Bandung.
-------------------------. 1985. Ekologi
Sebagai Landasan Dasar Ilmu Lingkungan. Makalah untuk kongres Nasional
Biologi ke VII di Universitas Brawijaya Palembang 29-31 Juli 1985.
Soedjono, A.M. 1990. Partisipasi
Keluarga dalam Memelihara Lingkungan di Perumahan yang Baru. (Studi Kasus di
Perumnas Minomartani, Kelurahan Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten
Sleman, DIY). Tesis Program Pasca Sarjana IPB.
Stewart, Frances & Ejaz Ghani. 1991.
How Significant Are Externalities for Development ? World Development Vol.
19 No.6 pp. 569 - 594. Great Britain: Pegamon Press.
Suryadi, Charles & Yvonne Suzy
Handayani. 1999. Masalah Sampah Di Jakarta dan Permasalahannya.PPK
Universitas Khatolik Atma Jaya.
Titienberg,T. 1992. Environmental
Natural Resource Economics. Third Edition. New York: Harper Collin
Publisher.
Yakin, Addinul. 1997. Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan. Teori dan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan.
Vincent, R. Jeffrey; Eric W Crowford
& John P Hoehn. 1990. Valuing
Environmental Benefits in Developing Economics. Proceedings of Seminar
Series at Michigan State University.
Whittington, Dale; et.al. 1993. Willingness
to Pay For Improved Sanitation in Kumasi, Ghana: A Contingent Valuation Study.
Dalam Munasinghe, Mohan. 1993. Environmetal
Economics and Sustainable Development. Washington DC: World Bank
Whittington, Dale;
et.al. 1990 Willingness to Pay for Water Services in Suouthern Haiti.
Dalam Munasinghe, Mohan. 1993. Environmetal Economics and Sustainable
Development. Washington DC: World Bank.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar